Beranda | Artikel
Hak Isteri Suami Setia Kepadanya Sepeninggalnya
Selasa, 15 Mei 2007

HAK ISTERI

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

13. DI ANTARA HAK ISTERI BAHWA SUAMI SETIA KEPADANYA SEPENINGGALNYA
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat contoh paling luhur tentang kesetiaan kepada isteri setelah kematiannya. Diberitakan bahwa beliau memuji Ummul Mukminin, Khadijah Radhiyallahu anha, melebihkannya atas seluruh Ummahatul Mukminin, dan sangat memuliakannya sehingga ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah mengatakan: “Aku tidak cemburu kepada seorang wanita pun sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah.”

Ummul Mukminin, ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Khadijah, maka beliau tidak bosan memuji dan memintakan ampunan untuknya. Suatu hari beliau menyebutnya sehingga aku cemburu, lalu aku katakan: ‘Allah telah meng-gantikan bagimu dari wanita tua itu.’ Aku melihat beliau sangat marah sehingga aku menyesal dalam hatiku dan aku berkata dalam hatiku: ‘Ya Allah, jika Engkau sirnakan kemurkaan Rasul-Mu terhadapku, maka aku tidak akan kembali menyebutnya dengan keburukan.’ Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui penyesalanku, beliau ber-sabda: ‘Bagaimana bisa engkau mengatakan hal itu? Demi Allah, dia telah beriman kepadaku ketika manusia mendustakanku. Ia memberikan tempat bagiku ketika manusia menolakku. Aku dikarunia anak darinya, sedangkan aku tidak mendapatkannya dari kalian.’ Kemudian beliau pergi dan pulang kepadaku dengan menyebutnya selama sebulan.”[1]

Juga dari ‘Aisyah, ia menuturkan: “Seorang wanita tua datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau di sisiku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab: ‘Aku Jutsamah al-Muzaniyah.’ Beliau berkata: ‘Bahkan engkau adalah Hussanah al-Muzaniyah. Bagaimana kalian? Bagaimana keadaan kalian? Bagaimana kalian setelah (berpisah dengan) kami?’ Ia mengatakan: ‘Dalam keadaan baik, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu wahai Rasulullah.’ Ketika ia keluar, aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, engkau menyambut wanita tua ini dengan penyambutan sedemikian?’ Beliau menjawab: ‘Ia pernah datang kepada kami semasa Khadijah masih hidup, dan sesungguhnya kesetiaan yang baik adalah bagian dari keimanan.’”[2]

Muslim meriwayatkan dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Aku tidak merasa cemburu kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya.” Ia melanjutkan: “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing, maka beliau mengatakan: ‘Kirimkanlah (daging kambing ini) kepada teman-teman Khadijah.’” Ia melanjutkan: “Suatu hari aku membuat beliau marah karena aku mengatakan (dengan keheranan): ‘Khadijah?!’ Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya aku telah dikaruniai cintanya.”[3]

Hadits Ummu Zar’.
Ini adalah gambaran tentang pergaulan secara ma’ruf, kelembutan dan berbicara bersama isteri dalam perkara-perkara yang mubah, belajar untuk bersabar terhadap isteri dan menyimak apa yang mereka ceritakan, selama tidak menyelisihi syari’at. Hadits berikut ini masuk dalam kategori: “Dan pergaulilah mereka dengan cara yang ma’ruf.” Dan karena panjangnya hadits ini, maka penulis sengaja meletakkannya di akhir bab.

Al-Bukhari meriwayatkan, dalam Shahiihnya pada bab “Bergaul dengan Baik terhadap Keluarga,” sebuah hadits marfu’ dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Ia menuturkan:

Sebelas wanita duduk lalu mereka berjanji untuk tidak me-nyembunyikan tentang kabar-kabar yang bertalian dengan suami mereka sedikit pun.

Wanita yang pertama mengatakan: “Suamiku adalah daging unta jantan kurus di atas puncak gunung yang tidak mudah didaki, dan tidak pula berdaging sehingga mudah berpindah.”[4]

Yang kedua mengatakan: “Tentang suamiku, aku tidak ingin menyebarkan beritanya. Sesungguhnya aku khawatir mengatakannya. Jika aku mengingatnya, maka aku akan mengingat urat di wajah dan di perutnya.”[5]

Yang ketiga mengatakan: “Suamiku orang yang berakhlak buruk; jika aku berbicara, maka aku akan ditalak dan jika aku diam, maka aku akan terkatung-katung.”[6]

Yang keempat berkata: “Suamiku seperti malam yang tenang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak membosankan.”[7]

Yang kelima berkata: “Suamiku, apabila ia masuk, ia seperti macan kumbang dan apabila keluar, ia seperti singa, dan tidak bertanya tentang apa yang terlihat (di dalam rumah).”[8]

Yang keenam berkata: “Suamiku, jika ia makan sangat rakus. Jika minum, ia meminumnya sekali tenggak. Jika tidur, ia tidur pulas sendirian (jauh dari isteri). Ia tidak memasukkan telapak tangannya (ke dalam tubuh isterinya) untuk mengetahui berita (tentang kesedihan isterinya).”[9]

Yang ketujuh berkata: “Suamiku dungu -atau tidak mampu bersenggama dengan isterinya- bahkan sangat dungu. Setiap penyakit ada padanya. Ia melukai kepalamu, melukai tubuhmu atau melakukan kedua-duanya kepadamu.”[10]

Yang kedelapan mengatakan: “Suamiku sentuhannya selembut sentuhan kelinci dan aromanya seharum aroma Zarnab (pohon berbau harum).”[11]

Yang kesembilan berkata: “Suamiku tinggi pilarnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya dan rumahnya dekat dengan kebaikan.”[12]

Yang kesepuluh berkata: “Suamiku adalah raja, raja yang seperti apa? Seorang raja yang lebih baik dari semua raja. Ia memiliki unta-unta yang banyak, menderum dan sedikit digembalakan. Jika hewan-hewan tersebut mendengar suara pisau, maka hewan-hewan tersebut merasa yakin, bahwa mereka akan binasa.”[13]

Yang kesebelas berkata: “Suamiku Abu Zar’, dan siapakah Abu Zar’? Yaitu, orang yang memakaikan perhiasan di kedua telingaku. Ia memenuhi tubuhku dengan lemak (sehingga aku menjadi gemuk). Ia membahagiakanku, sehingga aku menjadi bahagia dan bangga. Ia mendapatiku (ketika menikahiku) dalam keluarga penggembala kambing yang sengsara, lalu menempatkanku dalam keluarga penggembala kuda dan unta serta memiliki banyak tanaman dan hewan ternak. Di sisinya aku berbicara, dan aku tidak dicela. Aku tidur di awal siang hari dan aku minum hingga puas.”

Ibu Abu Zar’, dan siapakah ibu Abu Zar’ itu? Hartanya banyak dan rumahnya luas.[14]

Putera Abu Zar’, dan siapakah putera Abu Zar’ itu? Tempat tidurnya seperti selembar serat tikar (karena sempitnya) dan sudah merasa kenyang dengan makan kaki kambing.[15]

Putri Abu Zar’ dan tahukah kamu siapakah putri Abu Zar’ itu? Ia mentaati ayahnya dan mentaati ibunya, pakaiannya terpenuhi dan tetangganya iri kepadanya.

Sahaya wanita Abu Zar’, dan tahukah kamu siapa sahaya wanita Abu Zar’ itu? Ia tidak menyebarkan pembicaraan kami, tidak berkhianat maupun mencuri makanan kami, dan tidak memenuhi rumah kami dengan sampah.’[16]

Ia (Ummu Abu Zar’) mengatakan: “Abu Zar’ keluar mem-bawa wadah-wadah untuk memerah susu, lalu dia bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan kumbang. Keduanya memainkan dua payudaranya di pangkuannya.[17] Kemudian dia menceraikanku dan menikahinya. Kemudian sesudah itu aku menikah dengan seorang laki-laki bangsawan, menaiki kuda dan memegang tombak. Ia menghiburku dengan berbagai nikmat yang banyak dan memberikan kepadaku dari segala hal yang menyenangkan,[18] serta mengatakan kepadaku: ‘Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berikan kepada keluargamu.’ Ia mengatakan: ‘Sekiranya aku kumpulkan segala sesuatu yang dia berikan kepadaku, maka itu tidak mencapai sebejana terkecil Abu Zar’.”

‘Aisyah melanjutkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku bagimu adalah seperti Abu Zar’ terhadap Ummu Zar’.’”[19]

Perkataan bangsawan tersebut kepada Ummu Zar’: “Makanlah, wahai Ummu Zar’, dan berikan kepada keluargamu,” yakni berikan apa yang kamu sukai kepada keluargamu. Hal itu karena sangat memuliakannya. Meskipun demikian, ia mengatakan: “Seandainya aku mengumpulkan apa yang dia berikan kepadaku, maka itu tidak mencapai sekecil bejana Abu Zar’.” Ini membuktikan bahwa cinta Abu Zar’ telah terpatri dalam hatinya.

Point-Point Penting Berkaitan dengan Hadits ini :
Pertama, suami itu keadaannya sangat bermacam-macam. Barangsiapa yang mendapati sifat yang tercela padanya, maka hendaklah dia berusaha melepaskan sifat tersebut semaksimal mungkin. Dan barangsiapa yang merasa memiliki sifat terpuji, maka hendaklah dia memohon kepada Allah tambahan karunia-Nya.

Kedua, berlemah lembut dan berbicara dalam perkara yang mubah, selagi hal itu tidak membawa kepada hal yang dilarang.

Ketiga, penjelasan tentang bolehnya menyebut kelebihan dalam perkara-perkara agama, dan seorang suami memberitahukan kepada keluarganya mengenai gambaran keadaannya bersama mereka, terutama karena kaum wanita mempunyai tabi’at mengingkari kebaikan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Aku bagimu adalah seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.”

Keempat, hadits ini berisi pembicaraan tentang umat-umat terdahulu dan membuat permisalan dari mereka untuk diambil sebagai pelajaran. Tidak mengapa menyebut sekelumit kisah dan kisah-kisah unik yang dinilai baik untuk memotifasi jiwa.

Kelima, boleh memuji seseorang di hadapannya jika pujian tersebut tidak merusaknya; karena ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan: “Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik daripada Abu Zar’. Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, sungguh engkau lebih baik bagiku.”

Keenam, boleh bersajak tanpa memaksakan diri. Karena ada larangan bersajak dalam ucapan.

Ketujuh, menyebut aib yang ada pada diri seseorang diboleh-kan, jika diniatkan agar perbuatan tersebut dijauhi, dan hal tersebut tidaklah termasuk dari ghibah. Hal ini disinggung oleh al-Khaththabi, kemudian oleh Abu ‘Abdillah at-Tamimi, guru dari al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa argumen dengan hal ini adalah akan sempurna seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar wanita menggunjing suaminya lalu menyetujui-nya. Adapun hikayat tentang orang yang tidak hadir, maka tidaklah demikian. Ini adalah sebagaimana orang yang mengatakan: “Di antara manusia ada seseorang yang berbuat buruk.” Mungkin inilah yang dimaksud oleh al-Khaththabi.

Kedelapan, hadits ini membolehkan menyifati wanita dan kebaikannya kepada seorang pria. Ini dibolehkan jika kaum wanita tersebut tidak ada (tidak diketahui).[20]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad (VI/117), dan pentahqiq Siyar A’laamin Nubalaa’ berkata: “Sanad-nya hasan.”
[2]. HR. Al-Hakim (I/15-16), ia menshahihkannya berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim, serta disetujui oleh adz-Dzahabi.
[3]. HR. Muslim (no. 2435).
[4]. Ia bermaksud mencela suaminya. Ia mengatakan bahwa daging suaminya se-perti daging unta yang kurus. Disamping demikian, ia terletak dipuncak gunung yang sulit di daki. Gunung tersebut tidak mudah di daki dan daging tersebut tidak pula gemuk untuk mampu memikul beban. Artinya ia tidak menikmati suaminya. Sebab, ia adalah seorang pria yang lemah dan dagingnya tidak bagus. Sepertinya ia menyifati aktifitas seksualnya bersamanya. Sekalipun ia menikmati aktifitas seksual bersama suaminya, namun ia melihatnya seperti daging unta yang kurus. Disamping kurus, ternyata dia sangat buruk akhlaknya. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana seharusnya berbicara dengannya. Bahkan ketika dia sampai kepada suaminya setelah bersusah payah, dia tidak mendapat-kan sesuatu pun yang layak diambil dan dinikmati darinya. Wallaahu a’lam.
[5]. Maknanya secara umum, kata al-Khaththabi, dia memaksudkan aib-aib suami-nya yang nampak dan rahasia-rahasia yang tersembunyi. Bisa jadi ia tertutup lahirnya tapi bathinnya buruk. Maksudnya, bahwa suaminya banyak memiliki aib. Ia tidak ingat aib-aibnya kecuali saat urat-urat yang tampak ketika marah. ia khawatir bila mengingatnya akan menyebutkan semua aibnya. Seakan-akan ia khawatir tidak dapat membiarkan beritanya sedikit pun karena sedemikian banyaknya. Tetapi ia merasa cukup mengisyaratkan aib-aibnya. Wallaahu a’lam.
[6]. “Jika aku berbicara, maka aku akan ditalak dan jika aku diam, maka aku akan terkatung-katung.” Maksudnya, jika aku berbicara disisinya dan mengoreksinya tentang suatu perkara, maka ia menceraikanku, dan jika aku diam, maka ia tidak menghiraukanku dan meninggalkanku seperti wanita terkatung-katung yang tidak mempunyai suami dan tidak pula janda. Tidak ada suami disisinya yang bisa diambil manfaatnya, dan bukan pula sebagai wanita tak bersuami yang mencari suami untuk dirinya. Wallaahu a’lam.
[7]. Ia menyifati suaminya, bahwa dia hidup bersamanya dengan rasa aman dan keadaannya menyenangkan. Ia tidak takut dan tidak bosan dengan kehidupan-nya. Ia seperti penduduk Tuhamah dalam menikmati malam mereka yang tenang dan cuaca yang lembut. Ia menikmati suaminya karena pergaulannya yang bagus dan keadaannya sederhana. Wallaahu a’lam.
[8]. Pensifatan wanita ini pada suaminya mengandung dua kemungkinan:
Pertama, ia menyifati suaminya bahwa ia seperti macan, karena terlalu sering menyetubuhinya. Wanita ini dicintainya sehingga ia tidak tahan ketika meli-hatnya. Sementara ketika ia di tengah-tengah manusia (ketika keluar) ia adalah pemberani seperti singa. Dan tidak bertanya tentang apa yang bisa dilihat, yakni ia memberikan kepadanya makanan, minuman dan pakaian. Ia tidak menanyakan, dikemanakan semua itu habis.
Kedua, ia mencela suaminya dan menyifatinya bahwa ketika masuk, ia seperti macan. Ia tidak mencumbuinya sebelum menyenggamainya. Ia juga berakhlak buruk, meninju, memukul dan ia tidak bertanya tentang isterinya. Ketika ia keluar, sedangkan isterinya sakit, maka ketika kembali, ia tidak bertanya tentang keadaannya kepada anak-anaknya.
[9]. Ia menyifati suaminya sebagai orang yang rakus dalam makan dan minum sehingga tidak menyisakan sedikit pun. Jika ia tidur, maka ia tidur di pojok dan berelimutkan dengan pakaiannya sendirian dalam keadaan berpaling dari isterinya, dan dia (si isteri) bersedih karenanya. Ia tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kesedihannya terhadapnya, dan ia (si isteri) sakit tapi ia tidak bertanya tentang penyakitnya.
[10]. Ia menyifati suaminya sebagai orang yang dungu, sebab ia tidak mampu memenuhi hajatnya. Meskipun demikian, ia selalu menyakitinya. Jika ia berkata kepadanya, maka dia menahannya, memukulnya dan melukai kepala serta badannya. Ia tidak menyisakan satu anggota badan pun bisa terbebas. Kadang-kala ia melakukan segalanya.
[11]. ia menyifati suaminya sebagai orang yang suka berdandan dan memakai parfum untuknya
[12]. Ia menyifati suaminya, bahwa rumahnya tinggi dan panjang, dan demikianlah rumah para bangsawan. Ia berperawakan tinggi, yang membutuhkan sarung pedang yang panjang, dan itu karena keberaniannya. Apinya tidak padam karena kedermawanannya.Rumahnya dekat dengan tempat pertemuan, sehingga ia tidak tertutup dari para peserta pertemuan dan ia tidak jauh dari mereka serta selamanya berada di tengah-tengah khalayak agar mudah bertemu dengan-nya.
[31]. Ia mengatakan, bahwa suaminya adalah raja yang lebih baik dibandingkan raja-raja yang disebutkan dalam hal kedemawanannya. Untanya juga dermawan. Jika unta ini mendengar suara pisau, maka ia tahu bahwa ada tamu yang datang. Jika tamu telah datang, maka ia yakin bahwa ia akan disembelih.
[14]. Ia menyifati Ummu Abu Zar’ bahwa ia mempunyai banyak perabotan, harta dan pakaian, rumahnya luas dan hartanya banyak. Ia hidup dalam kenikmatan yang banyak dan kehidupan yang menyenangkan.
[15]. Ia menggambarkan putera Abu Zar’ bahwa pembaringannya hanya selebar selembar serat tikar, maksudnya ia tidak banyak memanfaatkan atau mengambil tempat di rumah, dan sedikit makannya, sehingga sudah merasa kenyang dengan makan sebelah kaki depan kambing kecil, dan ini gambaran bahwa anak tirinya tersebut tidak banyak membebaninya seakan-akan tidak hidup bersamanya.
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5189) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2448).
[17]. Abu Zar’ keluar pagi-pagi sekali dari rumahnya ketika akan melayani dan bekerja. Dia keluar ketika musim kurma dan musim semi yang indah, seolah-olah hal-hal tersebut menjadi sebab dia melihat wanita itu. Ketika itu yang mana ia melihatnya berdasarkan penglihatan dari payudara wanita tersebut. Kemudian wanita itu lelah, ia berbaring sambil beristirahat. Lalu Abu Zar’ melihatnya demikian bersama dua orang anak seperti dua ekor macan kumbang yang bagus. Dan mereka (orang-orang Arab) menginginkan agar anak-anak mereka berasal dari wanita-wanita yang dapat melahirkan. Oleh karena itu, hal tersebut membuatnya semangat kepada wanita tersebut tatkala ia melihatnya dan kedua anaknya sedang memainkan payudaranya dipangkuannya. Lalu ia menikahinya, sehingga hal tersebut terus berlangsung hingga akhirnya ia menceraikan Ummu Zar’.
[18]. Ia memberinya nikmat yang banyak dan memberinya berbagai hal. Dan ia berkata kepada Ummu Zar’: “Ambillah segalanya yang dapat membunuh (mantan) suamimu.” Maka ia mengatakan bahwa ia mencari pengganti sesudah ia ditolak. Dan setiap pengganti itu lebih buruk, seperti yang dikatakan oleh orang-orang. Sehingga suami kedua tidaklah bisa menggantikan Abu Zar’, padahal dia adalah seorang yang terpandang, menunggangi berbagai kuda, memegang tombak dan memberinya segala sesuatu, serta berkata kepadanya: “Ambillah segalanya yang dapat membunuh (mantan) suamimu.”
[19]. Ia menyifati sahaya itu bahwa ia tidak menyebarkan rahasia dan tidak mengkhianati mereka dalam hal makanan dan perbekalan serta membawanya kabur. Ia pandai mengatur rumah dan peka dengan kebersihan.
[20]. Komentar al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IX/277), dengan diringkas.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2114-diantara-hak-isteri-bahwa-suami-setia-kepadanya-sepeninggalnya.html